Tak Ada Kasta dalam Pendidikan


MENTERI Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh adalah sosok bersahaja yang penuh prestasi dibidang yang ia tekuni Teknologi Informasi dan Komunikasi. Ia mengawali karirnya sebagai dosen Institut Teknologi Surabaya (ITS) pada tahun 1984. Ia kemudian mendapat beasiswa menempuh magister di Universite Science et Technique du Languedoc (USTL) Montpellier, Perancis. Kemudian melanjutkan studi S3 di universitas tersebut.

Pada tahun 1997 ia diangkat menjadi Direktur Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) ITS. Berkat lobi dan kepemimpinannya, PENS menjadi rekanan terpercaya Japan Industrial Cooperation Agency (JICA). Kemudian, 15 Februari 2003, Mohammad Nuh dikukuhkan sebagai rektor ITS. Pada tahun yang sama, Nuh dikukuhkan sebagai guru besar (profesor) bidang ilmu Digital Control System dengan spesialisasi Sistem Rekayasa Biomedika. Ia adalah rektor termuda dalam sejarah ITS, yakni berusia 42 tahun saat menjabat.

Semasa menjabat sebagai rektor, ia menulis buku berjudul Startegi dan Arah Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (disingkat Indonesia-SAKTI). Buku itulah kemudian mengantarkan Nuh pada posisi Menteri Komunikasi dan Informasi pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid pertama. Kini, Kabinet Indonesia Bersatu Jilid dua, Nuh dipercaya oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), untuk menduduki jabatan sebagai menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas).

Muhammad Nuh lahir di Surabaya, Jawa Timur, 17 Juni 1959, adalah anak ketiga dari 10 bersaudara. Ayahnya H. Muchammad Nabhani, adalah pendiri Pondok Pesantren Gununganyar Surabaya. Menikah dengan drg. Layly Rahmawati, dikaruniai seorang puteri Rachma Rizqina Mardhotillah, yang lahir di Perancis. Selain dikenal santun, Nuh yang dibesarkan di lingkungan pesantren dikenal low profile dan sejuk. Dibalik kesejukannya, kini masyarakat menunggu langkahnya dalam memajukan dunia pendidikan yang selama ini "dicap" sebagai departemen yang gemar melepas kelinci percobaan. Bagaimana Pak Nuh - begitu ia akrab disapa- menanggapi berbagai tanggapan yang berkembang? Berikut petikan wawancara wartawati JPNN Nicha Ratnasari dengan Mendiknas M Nuh di Jakarta beberapa waktu lalu.


Ujian Nasional (UN) tetap kontroversial, dan sudah berakhir. Apakah Pak Nuh cukup puas dengan hasil yang ada?

Sebenarnya bukan hanya saya, kita semua harus bersyukur. Alhamdulillah. Mau kurang berapa persen lagi? wong angka kelulusan yang ada saat ini sudah mencapai 99 persen. Maka itu, perlu diketahui juga. Kita memang cukup puas, tetapi kepuasan itu tidak boleh berhenti sampai di sini. Apa yang harus kita lakukan? Kita harus terus melakukan peningkatan kualitas.

Misalkan saja, rata-rata nilai UN utama sekitar 7,6. Sedangkan nilai rata-rata UN Ulangan sekitar 6,5. Berarti itu kita masih ada kesempatan. Masih ada ruang untuk meningkatkan kualitas itu. Jika dilihat dari sisi persentasenya, angka 99 persen tadi mau diapakan lagi? Hanya saja, di antara ruang yang masih terbuka itu, pertama kita harus menaikkan rata-rata dan memperkecil yang mengulang. Kalau kemarin yang mengulang sebanyak 10 persen, maka ke depannya harus semakin kecil yang mengulang. Dengan nilai rata-rata semakin tinggi, kita juga ingin agar distribusinya tidak hanya itu-itu saja yang mendominasi. Maaf, untuk saat ini kan yang paling banyak mengulang di NTT. Maka ke depannya harus dipotong dan memang harus ada intervensi.

Apakah hasil itu sudah cukup untuk memetakan pendidikan yang sebenarnya, seperti yang Pak Nuh rencanakan sebelumnya?

Saya berulang kali memang mengatakan bahwa Ujian Nasional (UN) selain untuk menentukan kelulusan siswa juga digunakan sebagai pemetaan pendidikan. Bagaimana caranya? Dari hasil UN, akan terlihat sekolah-sekolah mana saja yang bisa dikatakan sangat baik, berprestasi, bahkan sekolah-sekolah yang belum memenuhi standard. Nah, untuk sekolah-sekolah yang belum memenuhi standard itu, pemerintah akan membantu untuk peningkatan mutu sekolah-sekolah itu tadi.

Anggaplah, UN itu diibaratkan orang pergi ke dokter lalu mengecek kesehatan dan penyakitnya akan dikenali. Jadi ditegaskan kembali, UN tak hanya menguji siswa, tetapi juga dapat mendeteksi kelemahan pendidikan di Indonesia secara umum. Kita dapat mengetahui wilayah mana yang memerlukan perhatian khusus.

Jadi, itu yang membuat Pak Nuh tetap ngotot tetap harus UN?

Ya begitulah. Sekarang, kalau ujiannya diserahkan kepada masing-masing sekolah, atau masing-masing guru di daerah, maka bisa jadi sama-sama lulus tetapi kita tidak tahu dimana kelemahannya.Jadi, jika UN hanya dijadikan sebagai hasil atau syarat kelulusan saja, kita tidak akan pernah tahu bagaimana kondisi pendidikan di negeri ini. Bahkan, mungkin para siswa nantinya juga tidak akan serius belajar sehingga semuanya akan menjadi bias. Maka dari itu, penilaian kelulusan dengan melihat hasil UN dalam pandangan pemerintah masih merupakan metode evaluasi yang cukup baik. Tetapi kami akan terbuka untuk perbaikan ke depannya.

Tetapi, bagaimana dengan standarisasi guru yang nampaknya juga masih bermasalah?

Untuk standarisasi guru, kalau standarisasi itu dikelompok-kelompokkan tentunya berdasarkan kualifikasi. Syaratnya sudah jelas yaitu D-4 dan S1. Ini dari sisi kualifikasi. Nah, demikian juga dari sisi sertifikasi. Kita masih punya banyak guru yang belum terserifikasi. Mungkin sekitar 74-75 persen yang belum tersertifikasi. Demikian juga dari sisi kompetensi. Jadi, bukan hanya sekadar S1 atau D-4 saja, tetapi kalau misalnya dia guru bahasa dan memiliki latar belakang kompetensinya bahasa, bukan berarti dia memiliki kemampuan untuk mengajarkan bahasa. Ini harus dilihat secara jeli kompetensinya.

Maka itu, untuk saat ini ruang atau space untuk perbaikan dunia pendidikan kita masih sangat luas, dan disitulah akan ada banyak peluang-peluang, dimana yang harus kita lakukan adalah menggarap perbaikan-perbaikan.

Pak Menteri, anggaran pendidikan kita kan sudah mencapai Rp 300 triliun. Tapi, persoalan dan penyelesaian pendidikan sepertinya jalan ditempat. Sebenarnya apa sih yang terjadi Pak?


Pertama, kita harus tahu. Masalah bangsa ini tidak stag . Misalkan saja, jika dilihat dari participant, jumlah penduduk yang semakin naik dari tahun ke tahun, maka artinya yang ikut sekolah, ikut kuliah dan ikut belajar Sehingga, kenaikan anggaran tidak bisa dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, karena sudah pasti jumlah penduduk Indonesia terus meningkat.

Kedua, kebutuhan juga terus berubah dan berkembang, teknologi berubah dan berkembang, tantangan sosial berubah dan berkembang. Dari situ pula lah jangan berharap jika menangani masalah pendidikan itu akan selesai. Itu tidak ada ceritanya. Yang namanya pendidikan pasti selalu ada persoalan. Tetapi yang terpenting, kita tidak boleh bolak balik berada di persoalannya yang itu-itu saja. Itu memang yang tidak boleh....

Semakin maju negara, semakin murah biaya pendidikannya. Nah, kalau di Indonesia ini semakin hari semakin mahal biaya pendidikannya, apa itu sama dengan Indonesia semakin-hari semakin mundur ya Pak ?

Jangan terlalu dini untuk mengatakan hal itu. Kita harus lihat sama-sama. Jadi begini, jika dilihat dari kondisi saat ini khususnya di tingkat SD dan SMP, kita dapat mengetahui participant-nya. Saya punya data struktur ekonomi yang dibagi ke dalam 5 bagian. Yakni, 20 persen sangat miskin, 20 persen agak miskin, 20 persen cukup, 20 persen agak kaya, dan 20 persen sangat kaya. Untuk SD tidak ada bedanya. Anak yang berasal dari keluarga termiskin bisa sekolah. Itu maknanya apa? biaya pendidikan terjangkau. SMP juga demikian. Tidak ada bedanya anak miskin dengan anak yang sangat kaya. Semuanya sama-sama sekolah.

Jadi ini semua adalah manfaat dari BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Berapa dana BOS ? Dana BOS itu Rp 20 triliun. Untuk apa? Untuk memberikan bantuan operasional agar anak-anak tidak usah bayar sekolah. Khususnya jenjang SD-SMP. Jadi, bertahap nantinya Indonesia, biaya pendidikan akan terjangkau dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Dan semua itu memang masih harus bertahap, tidak bisa serta merta.

Dengan dibatalkannya UU BHP oleh MK, apakah itu artinya negara akan kembali aktif mensubsidi biaya pendidikan di perguruan tinggi? Atau jangan-jangan Pak Menteri lagi cari strategi model baru, yang sama dengan BHP?

Kita semua tentu merasakan bahwa Perguruan Tinggi cukup mahal.Tapi kita kembali ke awal tadi. Bagaimana pun pemerintah akan tetap berusaha untuk membuat pendidikan ini murah dan dapat dinikmati oleh semuanya. Dari situ pula lah, mengapa kita mengeluarkan kebijakan. Karena gap antara termiskin dan terkaya cukup tinggi. Jadi, gap-nya anak – anak mahasiswa sangat kaya dan sangat miskin sangat tinggi. Namun kalau dilihat – lihat lagi, sebelum BHP ada, sekolahnya juga sudah ada toh? He he he .

Tetapi yang pasti, solusinya adalah pemerintah akan melakukan intervensi. Yang paling gampang adalah melalui program beasiswa Bidik Misi yang sudah dijalankan oleh Kemdiknas. Kita berikan kepada anak-anak yang tidak mampu tetapi memiliki kemampuan intelektual bagus. Sehingga, sekolah tidak perlu bayar, dan biaya hidupnya tidak bayar. Harapan kita ke sana.

Artinya, negara akan membidik yang kaya. Bukankan UU tidak mendiskriminasi antara kaya dan miskin untuk mendapatkan hak Pendidikan. Bagaimana ini Pak?

Itu semua masih proses. Nanti saja. Kita juga masih belum dapat memastikan kapan selesainya atau kapan deadline-nya. Namun yang pasti, saat ini semuanya sedang kita lakukan dan kita selesaikan, sebaik-baiknya tanpa memandang si miskin dan si kaya.

Lho, sekarang ada RSBI. Pendidikan berbiaya mahal yang dikelola sekolah negeri, padahal rintisan sekolah ini biasanya dikelola oleh swasta. Ada keluhan, bahwa sekolah negeri kini sedang menghabisi potensi siswa di sekolah swasta. Bagaimana pendapat Pak Menteri?

Ya, sekarang kita mengenal adanya sekolah yang berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Orang banyak yang takut dengan masalah ini. Tidak perlu khawatir, di sekolah-sekolah itu tidak boleh ada kastanisasi. Itu kan hanya perbuatan orang-orang yang berprinsip primordialisme.

Untuk diketahui, dalam masalah ini Kementerian Pendidikan Nasional juga akan mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan sekolah swasta dan RSBI. Yang akan dievaluasi adalah persyaratannya. Antara lain, komposisi guru, sistem pembelajaraanya dan kecukupan sarana dan prasarananya. Bahkan kementerian juga akan melihat proses perekrutannya. Eksklusifitas ini tidak boleh berdasarkan kemampuan financial siswa atau peserta didik. Dengan melihat proses perekrutannya, maka Kementerian akan dapat melihat, apakah mengandung eksklusifitas atau tidak. Karena di dalam RSBI itu harus mengutamakan akademik yang excellent.

Yang terakhir Pak Nuh, sebenarnya Bapak pernah nggak bercita-cita untuk menciptakan pendidikan murah dan berkualitas? Karena pendidikan murah juga amanat dari UUD’45.

Ya, tujuan pemerintah pastinya selalu ingin pendidikan murah dan berkualitas. Kita sudah merencanakan. Jika BOS untuk jenjang SD-SMP sudah bagus dan berjalan lancar, kita ke depannya akan masukkan wajib belajar 12 tahun. Artinya, anak-anak yang ingin berpartisipasi sekolah di SMA semakin tinggi dan semakin terjangkau. Okelah kalau banyak orang yang mengatakan semakin mahal. Tetapi dilihat dulu, siapa yang menanggung kemahalan itu? Kalau yang menanggung pemerintah kan tidak apa-apa. Iya toh .....

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.